Misteri Hutan Angker
Kamis, 20 Juli 2023 12:11 WIB"Ah, sial! Pohon itu lagi!" ketusku ketika melihat sebuah pohon tinggi menjulang di pinggiran jalan. Aku sudah curiga sebelumnya, bahwa aku hanya muter-muter saja sedari tadi. Dan kali ini aku yakin betul bahwa aku hanya berputar-putar.
Hari sudah mulai gelap, sedangkan aku belum juga menemukan rumah atau seseorang untuk tempat aku meminta pertolongan atau sekedar bertanya.
Sial nian aku sore ini. Ban motorku mendadak bocor dan kini aku di tengah jalan setapak yang tidak aku tahu berada di mana tepatnya.
Aku bisa nyasar ke tempat ini karena kecerobohanku sendiri. Awalnya, aku hendak pulang bersama-sama dengan rekan kerjaku usai menghadiri seorang rekan kerjaku juga yang tengah menikah. Selain karena tempatnya cukup jauh beberapa jam dari kotaku, juga karena medan ke tempat temanku ini katanya susah, akhirnya kami memilih untuk memakai motor.
Namun sialnya, ketika dalam perjalanan pulang, aku ketinggalan karena aku berhenti sejenak untuk mengecek ban belakangku yang bergoyang-goyang. Dan benar, saja. Ban belakang motorku bocor.
Teman-temanku yang tidak mengetahui ini sudah jalan duluan. Aku menghubungi teman-temanku lewat ponsel setelahnya, tetapi tak bisa, sinyal di tempat ini sama sekali tidak bersahabat.
Akhirnya aku terjebak di sini seorang diri. Mana hari sudah memasuki waktu senja.
Aku terus berjalan sambil menuntun motorku di jalanan setapak yang entah ini berada di mana. Aku merasa sudah berjalan hampir satu jam tapi tak kunjung kujumpai rumah atau orang. Motor yang lewat pun tidak ada sama sekali. Aku mulai merasa janggal, tetapi tidak tahu mesti berbuat apa.
"Ah, sial! Pohon itu lagi!" ketusku ketika melihat sebuah pohon tinggi menjulang di pinggiran jalan. Aku sudah curiga sebelumnya, bahwa aku hanya muter-muter saja sedari tadi. Dan kali ini aku yakin betul bahwa aku hanya berputar-putar. Aku tahu karena pohon tinggi itu sudah aku lewati dan aku tandai dengan sebuah tali rafia yang ada di jok sepeda motorku.
Kuhempaskan badanku di bawah pohon itu. Aku mengusap wajah kasar dan memejamkan mata sejenak. Mencoba berpikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini secepatnya. Sebab jarum jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul enam sore.
"Siapapun penghuni hutan ini. Saya tidak bermaksud mengganggu. Saya hanya ingin numpang lewat. Tolong jangan ganggu aku!" ucapku sembari menyapu pandangan ke segala arah.
Aku bangkit. Membaca doa-doa yang kuhapal sebisanya lalu mencoba meneruskan langkah kembali sembari menuntun motor dan terus berharap ada orang yang mau membantu.
Beberapa puluh langkah kemudian terlihat di depanku seorang sosok yang berjalan mendekat. Aku tersenyum, akhirnya aku bisa bertemu dengan orang juga.
Sosok itu memakai baju abu-abu lusuh dan bercelana hitam komprang. Ia memakai caping besar di kepala dan menenteng sebuah sabit di tangannya. Dari penampilannya aku tahu bahwa ia seorang petani. Mungkin baru pulang dari sawah.
"Pak, maaf mengganggu." Motor aku taruh sebentar dan aku bergegas ke arahnya setelah jarakku dekat.
"Lho, Mas. Kenapa? Mogok, ya?" terkanya begitu melihatku.
"Iya, Pak. Bannya bocor. Bisa minta bantuan, Pak. Saya bukan orang sini, kebetulan lewat dan entah kenapa saya hanya muter-muter saja sejak tadi, Pak, nggak bisa keluar dari hutan ini." Meluncur saja apa yang tengah menjadi kegelisahanku.
Kulihat lelaki berwajah sederhana khas orang desa itu tersenyum.
"Mas pasti nggak klakson, ya, saat memasuki gerbang desa kami, makanya diganggu sama penunggu sini," tukasnya. Hari yang sudah mulai gelap mulai menyamarkan mukanya.
Aku menyesali sesuatu. Saat pulang, kami dipesani Rendy. Rekanku yang menikah itu bilang bahwa jika kami mulai memasuki sebuah gerbang desa ini, aku harus membunyikan klakson atau sekedar mengucapkan uluk salam sebagai bentuk ijin. Namun, hanya aku sendiri yang tadi mengacuhkannya karena merasa bahwa hal seperti itu mitos belaka.
Samar-samar aku ingat ucapanku sore tadi saat berpamitan.
"Jangan percaya gituan. Dosa. Syirik! Kita itu lebih mulia dibanding mereka kalau memang ada!" ucapku sembari terbahak-bahak.
"Mengucapkan salam itu bukan bentuk kita takut kepada mereka, Rama. Tapi sebagai bentuk saling menghargai terhadap sesama ciptaan Tuhan." Begitu kata Rendy. Tapi aku tetap mengacuhkan saja.
Sedangkan teman-temanku yang lain menyetujui ucapan Rendy yang bagiku terlalu klenik itu.
"Begini saja, Mas!" Suara pak tua bercaping menyadarkan lamunanku.
"Iya, Pak," jawabku menunggu ia berkata.
Di ujung sana," Pak tua bercaping itu menunjukkan telunjuknya ke arah jalan di depanku. "Ada rumah ponakanku, dia punya sepeda motor. Biarkan nanti Mas diantar olehnya cari tambal ban di kota. Ayo saya antar ke rumahnya."
"Apa tidak merepotkan, Pak? Pasti Bapak sudah ditunggu anak istri di rumah," jawabku tak enak.
"Sudah tak apa-apa, sudah biasa, Nak," tuturnya. "Ayo, Mari Mas duluan, saya di belakang, saya bantu dorong biar nggak kecapekkan."
Aku nggak enak sebenarnya, tapi karena melihat jalan di ujung sana agak sedikit menanjak. Jadi aku terpaksa menerimanya.
"Terima kasih, ya, Pak," jawabku sungkan. Diam-diam aku menyesali kesembronanku hingga mesti terjebak di sini dan akhirnya merepotkan orang lain.
Sekarang hari sudah benar-benar gelap. Kunyalakan lampu motor agar bisa jadi cahaya penuntun jalan kami.
Sambil terus menuntun motor, aku mengajak Pak tua baik hati itu ngobrol agar suasana tidak sepi.
"Sejujurnya saya menyesal, Pak. Sudah sombong meremehkan tempat ini. Memang awalnya saya nggak percaya hal-hal gituan, Pak," kataku sembari menoleh ke belakang.
Pak tua itu terus membantu mendorong.
"Makanya, Nak. Kita jangan takabur, mentang-mentang manusia lebih tinggi derajatnya kita tidak menghargai mereka. Ingat mereka punya kelebihan bisa melihat kita tapi kita nggak bisa, kan?"
Aku mengangguk-angguk membenarkan.
"Oh, iya, Bapak rumahnya di mana? Dan sawahnya di mana? Apa nggak takut pulang kok magrib-magrib begini?"
Aku mendorong agak kencang karena jalanan mulai menanjak.
"Justru ini saya baru mulai berangkat, Mas dari rumah."
Aku menghentikan sejenak dorongan. Menatap sekilas Pak Tua itu dengan tatapan heran.
"Malam-malam begini baru mulai berangkat ke sawah, Pak?" tanyaku dengan rasa penasaran.
"Saya nggak mau ke sawah, Mas, tapi lagi berburu," jawabnya santai. Entah kenapa suaranya kali ini terdengar seperti aneh di telingaku.
'Berburu?' tanyaku dalam hati.
"Berburu apa, Pak? Babi hutan?" terkaku. Karena di sini hutan pasti banyak babi hutan.
"Berburu orang-orang yang tersesat seperti Mas ini," lirihnya.
Aku menghentikan motor. Menatap tajam. Kini wajah Pak tua itu tidak terkesan ramah lagi seperti tadi. Datar dan misterius.
Perasaanku semakin tidak enak.
"Maksud Bapak? tanya aku memastikan sembari menatapnya tajam. Diam-diam aku sudah mempersiapkan diri, waspada akan segala kemungkinan yang terjadi.
Lalu kulihat pak tua itu mengangkat sabit tinggi-tinggi, lalu memandangku dengan tatapan seolah haus darah.
"Saya butuh kepalamu saja, Nak! Saya berburu kepala-kepala orang tersesat sepertimu untuk menyempurnakan ilmuku!" tukas pak tua itu sembari terbahak-bahak.
Setelah ia berkata begitu, aku hempaskan motor dan langsung berlari sekuat tenaga.
Sembari terus berlari aku terus melihat ke arah belakang, di belakang sana pak tua itu terus mengejarku dan terus mengejarku. Aku terus berlari seperti kesetanan.
Sampai kemudian aku tidak tahu lagi berada di mana. Aku mengambil napas setelah aku rasa aman. Semua terasa gelap di sini. Suasana begitu mencekam. suara-suara hewan-hewan hutan mulai terdengar yang membuat bulu kudukku menjadi meremang.
Setelah mengambil napas beberapa saat, aku melihat iringan-iringan banyak orang membawa obor. Aku bernapas lega. Akhirnya ada orang juga, batinku.
Iring-iringan itu mengucapkan sesuatu yang aku tahu itu adalah Iring-iringan untuk orang mati.
Menguburkan jenazah malam-malam begini?
Karena aku tidak tahu lagi harus bagaimana dan mau ke mana, akhirnya aku bermaksud menunggu mereka dan minta bantuan.
Mereka berpakaian hitam-hitam. Setelah agak dekat aku agak gentar karena tatapan mereka semua terlihat dingin dan misterius.
Aku awalnya ragu ingin menyapa mereka, tetapi melihat kondisiku yang nggak tahu harus bagaimana, aku beranikan diri juga.
"Pak, maaf, siapa yang meninggal?" sapaku begitu mereka mendekatiku.
Mereka seperti tak menggubris sapaanku dan terus saja berjalan.
Aku terus mengikuti dan bertanya lagi ke salah satunya.
"Salah satu kepala desa kami, Nak! Sudah jangan ganggu kami, hari mulai gelap!" ujarnya kasar.
Aku terus saja mengikuti.
"Pak, saya tersesat di sini, saya hanya mau minta bantuan," keluhku sembari menjajari langkah iring-iringan mereka.
Orang yang tadi menjawabku berkata lagi, "Nanti saya bantu, Mas. Sekarang kami lagi sibuk. Ada yang ingin kami kubur. Karena hari sudah malam! Kalau mau ikut saja ke pemakaman, nanti setelah usai kami antarkan ke kota!"
Karena tidak ada pilihan lain, aku akhirnya menyetujuinya.
Akhirnya kami sampai di sebuah pekuburan yang menurutku aneh karena perkuburan di sini tidak seperti kuburan pada umumnya. Selain tepatnya di atas bukit kecil, juga setiap tempat sudah siap sedia bermacam-macam lubang.
Tentu aku heran. Biasanya pemakaman itu, orang lain akan menggali lubang secara mendadak setelah ada orang yang meninggal. Kalau ini seakan lubang-lubang itu sudah digali sebelumnya, seolah siap sedia selalu jika ada kematian. Aneh.
"Nggak usah heran, Nak. Di sini memang begini adatnya," ujar salah satu orang ketika kutanyakan keherananku.
Lalu jenazah itu diturunkan perlahan. Aku ikut membantu karena tak enak hanya menonton saja, lagi pula nanti aku ingin meminta bantuan. Anggap ini balas budiku.
Aku ikut masuk ke liang jenazah, siap menerima jenazah yang diturunkan.
"Tolong pegang bagian kepala, ya, Nak!" ujar seseorang memerintahku.
Jujur saja, ini seumur hidup aku melakukan hal seperti ini. Aku tidak berani sebenarnya, tapi karena kepepet mau bagaimana. Toh aku tidak kenal ini.
"Tolong buka tali pocong, dan wajahnya, lalu hadapkan ke kiblat, ya, Nak!" terdengar orang memerintahkan aku lagi.
Aku kesal bercampur rasa takut. Tapi aku tetap lakukan.
Aku lepas ikatan di kepala dan membuka bagian wajah jenazah itu.
Jantungku hampir melompat ketika aku mengenali wajah jenazah itu adalah wajah Pak tua bercaping yang tengah mengejarku tadi.
Aku melompat ke atas. Jantungku berdebar-debar. Keringatku mengucur deras.
Aku bersikap siaga sembari melihat mereka.
"Siapa kalian!" bentakku. "Siapa kalian sebenarnya!"
Jenazah itu kulihat bangkit dari kubur, merangkak naik secara perlahan, lalu berdiri di tengah-tengah orang berpakaian hitam-hitam itu.
"Selamat datang di kampung kami. Siapapun yang datang tersesat di sini, tak akan pernah bisa pulang lagi kecuali mau jadi anggota kami!"
Lalu kudengar mereka semua tertawa terbahak-bahak sembari menatapku dengan sorot mata nyalang.
***
End.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Pahlawan
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBNggak Bahaya, Ta?
Rabu, 19 Juli 2023 14:49 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler